Sore hari, saat matahari mulai kekuningan hendak mau terbenam di ufuk barat, aku masih terus menatap seorang anak kecil yang digendong ibunya berjalan dengan menuntun pula anknya yang sudah bisa berjalan itu.
Penampilan mereka terlihat
sedikit kumuh, anak yang berjalan bersama ibunya itu berjubakan pakean kaos
warna hijau yang hampir usang dan sudah tidak layak untuk anak itu kenakan,
baju yang dipakainya itu sedikit sobek dibagian bahu dan sudah sedikit kecil ditandai
perutnya hampir kelihatan dengan celana
warna hitam yang kusang pula.
Adiknya pun yang digendong,
berumuran sekitar delapan bulanan, yang masih kelihatan sanagat polos dan tidak
tau apa-apa serta dibungkuskan dengan kain corak batik coklat, yang sudah mulai
pudar warnanya.
Sesekali anak yang
kecil itu menangis, kakak dari anak itu pun ikut menagis pula, terliahat ibu
kedua anak itu berusaha menenangkan dedua anaknya. Aku pun dari jau di seberang
jalan tepatnya di salah satu warung kopi, terus menagmati ibu malang itu sedang
sesedikit mengusap air mata anaknya yang paling kakak.
Merasa tidak tega aka
pun menghampri ibu kedua anak itu, penampilanya sangat memperhatinkan, badan
yang kurus, dan sedikit memancarkan wajah yang kelelahan dibarengi dengan
senyuman tulus seakan menayap kehadiranku.
“permisi bu,” sapaku
dengan sopan dan sedikit senyuman tulus.
Ibu kedua anak itu pun
tidak mebalas, sapaan ku, mungkin saja mereka takut.
“ibu tinggal di mana??,”
tanya aku.
“saya tinggal di Mamboro
pak,” jawab ibu dua ank itu.
“oww, ngapain di sini
bu, di sini kan jau dari Mamboro???,” tanya saya dengan sedikit heran.
“saya mau cari
tumpangan mau pulang kesana,” kata ibu dua anak itu.
“kalau gitu bu mari,
nanti saya antar, tapi ibu ikut dulu saya kita makan di kafe di seberang sana,”
tawar aku.
Ibu kedua anak itu pun
menerima tawarnku, untuk makan di kafe tempatku melihat mereka dari jau tadi.
“ibu mau makan apa,
pesan saja, skalian ibu pesankan untu anak ibu,” tawar aku.
“oh iya makasi pak,
saya tersera bapa saja mau di belikan makanan apa saja ,” kat ibu itu dengan
sedikit malu.
“oh baik bu kalau
begitu,” kata saya.
Aku pun memesankan pada
mereka, ayam lalapan dengan anaknya yang tua. Sambil makan aku bertanya pada
ibu dua anak itu.
“bu anaknya yang tua
ini, namanya siapa?,” tanya aku.
“kalu yang tua ini pak,
namanya Nina, umurnya tiga tahun,” jawab ibu dua anak itu.
“oww kalu yang masih di
gendong itu bu?,” tanya aku lagi.
“kalau yang kecil ini,
Kristin, dia baru Delapan bulan umurnya,” jawab ibu dua ank itu.
“Emang suami ibu kemana,?”
tanya aku.
“suami saya, sudah
tinggalin kami sejak anak kedua kami baru berumur dua bulan,” jawanya.
“oh, maaf yah bu, kalu
bole tau kenapa dia tinggalin ibu,” tanya saya dengan sedikit takut.
“anak kedua saya ini
bukan anak kandung suami saya,”jawab ibu dua anak itu sambil sesekali menyuapi
anaknya pertama Nina.
“ohh, kaya gitu yah bu?,
emanya suami ibu dulu kerja apa?,” tanya saya.
“suami saya dulu kerja
kantoran juga di salah satu surat kabar di palu ini,” jawab ibu itu dengan
sedikit sedih.
“jadi bu suaminya
sekarang dimana?,”
Bersambung......
mantap
BalasHapusapa yang mantap kembar
BalasHapus